Makadari itu banyak sekali orang memakai buku-buku Ahmadiyah tanpa menjadi anggota Ahmadiyah. Sejauh ini yang dimengerti oleh banyak kalangan di Indonesia, alasan kenabian Mirza Ghulan Ahmad adalah menyangkut "khataman-nabiyyin" atau penutup para Nabi. Menurut tafsir Ahmadiyah, kata "khatam" bukan bermakna "penutup" melainkan "cincin". HazratMirza Ghulam Ahmad berulang kali menyatakan keyakinannya bahwa Nabi Suci Muhammad saw. adalah khatamun-nabiyyin atau khatamul-anbiya, dalam arti bahwa tidak ada lagi nabi yang bisa datang sesudahnya.. Di bawah ini kami kutipkan beberapa pernyataan beliau, yang secara khusus menggunakan istilah khatamun-nabiyyin atau khatamul nabi2Lihat jawabanpenutup para nabi yaitu nabi muhammad sawpenutup para nabiNabi terakhir yang membawa syariat, arti utama dari katam ialah materai,nabi termulia, cinciniriyahiriyahPenutup para nabi ..Maksih membantu bangetLOLKomentar sudah dihapuslol semua pada hapus komentarnurindaahnurindaahNabi yang terakhir atau penutup para GuruBK atau Konselor merasakan bimbingan klasikal yang diberikan tidak berjalan seperti yang direncanakan terutama dari respon, kegairahan, dan antusias peserta didik mengikuti layanan. Guru BK atau Konselor akan melakukan penelitian, jenis penelitian yang tepat adalah? Penelitian Tindakan Penelitian Deskriptif Studi kasus Penelitian Eksperimen Semua jawaban Tuduhanitu sama sekali palsu. Sesuatu pengakuan kenabian seperti itu adalah kufur; ini jelas. Bukan hanya kini, tetapi dari sejak permulaan sekali, saya selalu mengemukakan dalam buku-buku saya, bahwa saya tidak mengakui kenabian seperti itu untuk saya. Itu sama sekali adalah tuduhan kosong dan suatu cercaan terhadap saya”. NabiMuhammad saw. sebagai khatamun nabiyyin, arti kata khataman nabiyyin adalah? Penutup para malaikat Penutup untuk para nabi Penutup para penghulu Utusan nabi terakhir Utusan terakhir Jawaban yang benar adalah: B. Penutup untuk para nabi. Dilansir dari Ensiklopedia, nabi muhammad saw. sebagai khatamun nabiyyin, arti kata khataman nabiyyin . Video Jan 11, 2021 Pokok perkara yang paling terutama menjadi soal bagi banyak orang terkait dengan Gerakan Ahmadiyah adalah terkait dengan tema kenabian. Banyak orang menuding Gerakan Ahmadiyah menegasikan keberakhiran kenabian pada diri Nabi Muhammad saw. dan mengakui adanya nabi baru setelah beliau. Benarkah demikian? Lantas, bagaimanakah pemahaman Gerakan Ahmadiyah yang sebenarnya tentang Khatamun-Nabiyyin? Simak selengkapnya penjelasan dari S. Ali Yasir tentang arti dan makna Khatamun-Nabiyyin, yang didasarkan pada Al-Qur’an Surat Al-Ahzab ayat 40 ini. Jangan lupa Like, Subscribe dan Comment ya! Bunyikan lonceng di sudut kanan atas untuk beroleh informasi tentang konten terbaru dari channel ini. Navigasi pos Dikompilasi dari berbagai tulas, hasil korespondensi di internet ARTI KHATAM DALAM AYAT KHATAMAN – NABIYYIN Ayat KS Aquran Quran Suci/QS Surat Al Ahzab 3340 A’udzubillah himinasy-syaithan …… Maa kaana Muhammadun abaa ahadin minr rijaalikum wa laakinr rosuuulal laahi wa khaatamannabiyyin Yang artinya Muhammad bukanlah Bapak dari seorang laki-laki kamu, tetapi ia adalah seorang Rasul dan Khaataman Nabiyyin, khatam-nya dari para nabi-nabi. Ayat Khataman-Nabiyyin ini diturunkan di dalam rangkaian pembelaan dari Allah SWT kepada YM. Nabi Suci Muhammad Rasulullah atas tuduhan orang Arab Quraisy , bahwa pernikahan Rasulullah dengan Hadhrat Siti Zainab, janda dari Zaid “anak angkat” Rasulullah yang dituduh mengawini janda menantunya sendiri. Tuhan menjawab cemoohan orang Quraisy terhadap Rasulullah yang melanggar tradisi berlaku pada saat itu yang tidak membolehkan orang mengawini janda bekas menantunya walaupun dari anak angkatnya, yang kedudukan anak angkat itu menurut adat kebiasaan orang Quraisy disamakan statusnya dengan anak sendiri. Pada saat diturunkannya wahyu tentang Khaataman Nabiyyin tersebut, tidak pernah terpikir waktu itu oleh para sahabat Rasulullah bahwa khatam itu diartikan sebagai penutup untuk nabi-nabi, ini adalah berdasarkan keterangan dari YM. Rasulullah sendiri. Apalagi jika kita membaca keseluruhan ayat-ayat yang ada di dalam Rukuk ke-5 dari Surah Al Ahzaab ini bahkan di keseluruhan Surah al Ahzaab pun tidak ada disinggung satu pun indikasi yang berkenaan dengan inniy aakhirul-anbiya’ atau laa nabiyya ba’di; tetapi yang ada disebutkan di dalam surah ini Al Ahzaab ini adalah Jangan engkau mengikuti kebiasaan orang-orang kafir dan orang munafik ayat 1, dalam hal status anak angkat dll., menjadikan istri-istrimu sebagai ibu dan anak-anak angkatmu sebagai anak sendiri ayat 4, tetapi panggillah anak ini dengan nama bapak mereka ayat 5, dan Kami pun mengatur pernikahan engkau dengan Zainab, yang janda dari Zaid anak angkat engkau itu; di mana sama sekali tidak ada sesuatu pun yang akan mencemarkan nama engkau, di mana engkau adalah Khaataman Nabiyyin. Selain yang artinya penutup yaitu khatim ada banyak arti dari kata Khatam yaitu Cincin, perhiasan bagi yang memakainya, meterai, segel, yang membenarkan, yang paling afdhal, yang paling mulia, yang terbaik, sebagai pujian terutama kalau dikaitkan dengan kata benda plural / jamak, dan hanya sebagai penutup khatim, terutama kalau dikaitkan dengan kata benda singular. Dalam tata bahasa Arab, kata Khaatam jika digandeng dengan kata jamak maka artinya bukan lagi terakhir atau penutup melainkan yang paling sempurna, paling afdhal. Contohnya Nabi bersabda kepada Hadhrat Ali Aku adalah khatam dari nabi-nabi dan engkau wahai Ali adalah khatamul aulia khatam dari Wali-wali Tafsir Safi & Jalandari, benarkan Ali penghabisan dari wali-wali? Tentu bukan, karena di sini diartikan bahwa Hadhrat Ali sebagai yang paling mulia di antara wali-wali. Imam Safi’i 767-820 juga disebut “khaatam-ul auliya” Al Tuhfatus-Sunniyya, hal. 45. Rasulullah berkata kepada Umar Tenteramkanlah hatimu hai Umar, sesunguhnya engkau adalah khatamul Muhajjirin sahabat yang mengikuti pindah ke Medinah yang paling afdhal di dalam kepindahan ini, seperti aku khataman nabiyyin dalam kenabian. Kanzul Umal. Dalam zaman-zaman berikutnya, kata khatam juga dipakai dalam arti sebagai yang paling nge-top mulia Imam Syech Muhammad Abdul dari Mesir ditulis sebagai Khatam Al-A’immah; Imam/Pemimpin agama Tafsir Al-Fatihah halaman 148. Apakah tidak ada imam lainnya setelah Muhammad Abduh? Abu Tamaam At-Ta-i 804-805 ditulis oleh Hasan ibnu Wahab sebagai Khatimus-syuara Ahli syair. Dafiyaatul A’ayaan, vol. 1 hal 123, Kairo. Apakah setelah Abu Tamaam wafat tidak ada penyair lagi? Untuk Syekh Rasyid Ali Ridha ditulis sebagai Khatamul Mufasysyiriin Al Jaami’atul Islamiyah 1354 H. Imam Suyuthi mendapat gelar khaatamu-ul- muhadditsin, ahli hadits Hadya Al-Shiah, hal. 210. Aflatun ditulis sebagai Khatamul Hakim Mirtusuruh hal. 38, Khatam Al-Hukkam. Tokoh-tokoh lainnya yang pernah ditulis/disebut sebagai Khatam Al-Kiram, Khatam Al-Wilayat Muqaddimah Ibnu Khaldun hal. 271, Khatam Al-Jasinaniyyat, Khatam Al-Kamilin, Khatam Al-Asfiya, dalam sebutan sebagai yang paling afdhal, yang terbaik pujian terhadap seseorang yang dikagumi. Arti kata Khatam sebagai penutup atau terakhir sebenarnya baru timbul di abad pertengahan, di mana ulama-ulama Medieval ini mulai mengartikan khataman nabiyyin itu sebagai nabi penutup dan nabi terakhir. Ada riwayat, bagaimana para ulama yang karena takutnya pada arti Khaatam sebagai yang paling afdhal, paling terbaik kalau digabungkan dengan kata benda jamak/plural , meterai, atau cincin, stempel, maka mereka dengan tidak takut-takutnya mempengaruhi pemerintah melalui Departemen Wakaf-nya, untuk merobah Kitab Suci Alquran, yaitu dengan merobah tulisan kata khatam dengan merobah tulisannya dengan kata khatim dalam Alquran yang diterbitkan- nya. Ini terjadi di Afrika pada tahun 1987, dan ada yang menunjukkannya kepada kita. Mereka ingin mengartikan kata khatam itu sebagai penutup dengan kata khatim, yang mereka pikir punya hak untuk menggantinya. Ini adalah perbuatan yang nyata-nyata campur-tangan terhadap keaslian KS. Alquran, hanya karena mereka takut kepada Ahmadiyah. Inilah gambaran keliru yang amat mengerikan sebagai usaha mereka untuk menyelamatkan diri dari pengaruh pendapat orang Ahmadi, mengenai arti dari kata khatam ini. Kepercayaan tentang Nabi Muhammad adalah nabi terakhir memang pernah muncul dan sekarang kepercayaan yang demikian mestinya sudah lenyap kembali; kepercayaan mana adalah yang di-isukan oleh ulama dari zaman masa medieval pertengahan , bersamaan dengan kepercayaan bahwa, katanya Nabi Isa itu diangkat ke langit, dengan tubuh kasarnya dan akan turun kembali di akhir zaman. Tentang penggunaan kata khatam yang berarti termulia, tertinggi dan sebagainya dalam berbagai istilah dalam bahasa Arab lainnya dapat dilihat pada beberapa kata di bawah ini 1. KHATAM-USH-SHU’ARAA seal of poets was used for the poet Abu Tamam. Wafiyatul A’yan, vol. 1, p. 23, Cairo. 2. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Tayyeb. Muqaddama Deewanul Mutanabbi, Egyptian 3. KHATAM-USH-SHU’ARAA again, used for Abul Ala Alme’ry. ibid, footnote. 4. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Shaikh Ali Huzain in India. Hayati Sa’di, p. 117. 5. KHATAM-USH-SHU’ARAA used for Habeeb Shairaazi in Iran. Hayati Sa’di, p. 87 Note here that all five people have been given the above title. How could it be interpreted as “last”. They did not come and go at the exact same time. 6. KHATAM-AL-AULIYAA seal of saints for Hazrat Ali May God be pleased with him. Tafsir Safi, Chapter AlAhzab Can no other person now attain wilaayat, if “seal” meant last? 7. KHATAM-AL-AULIYAA used for Imam Shaf’ee. Al Tuhfatus Sunniyya, p. 45. 8. KHATAM-AL-AULIYAA used for Shaikh Ibnul Arabee. Fatoohati Makkiyyah, on title page. 9. KHATAM-AL-KARAAM seal of remedies used for camphor. Sharah Deewanul Mutanabbee, p. 304 Has no medicine been found or used after camphor, if “seal” means “last”? 10. KHATAM-AL-A’IMMAH seal of religious leaders used for Imam Muhammad Abdah of Egypt. Tafseer Alfatehah, p. 148 Don’t we have leaders today? 11. KHATAM-ATUL-MUJAHIDEEN seal of crusaders for AlSayyad Ahmad Sanosi. Akhbar AlJami’atul Islamiyyah, Palestine, 27 Muharram, 1352 12. KHATAM-ATUL-ULAMAA-ALMUHAQQIQEEN seal of research scholars used for Ahmad Bin Idrees. Al’Aqadun Nafees 13. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Abul Fazl Aloosi. on the title page of the Commentary Roohul Ma’aanee 14. KHATAM-AL-MUHAQQIQEEN used for Shaikh AlAzhar Saleem Al Bashree. Al Haraab, p. 372 15. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Imam Siyotee. Title page of Tafseerul Taqaan 16. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Hazrat Shah Waliyyullah of Delhi. Ijaalah Naafi’ah, vol. 1 17. KHATAMAT-AL-HUFFAAZ seal of custodians for AlShaikh Shamsuddin. AlTajreedul Sareeh Muqaddimah, p. 4 A “hafiz” is one who has memorised the full arabic text of the Holy Quran. Two of my cousins happen to belong to this category and more people will memorize it. 18. KHATAM-AL-AULIA seal of saints used for the greatest saint. Tazkiratul Auliyaa’, p. 422 19. KHATAM-AL-AULIA used for a saint who completes stages of progress. Fatoohul Ghaib, p. 43 20. KHATAM-ATUL-FUQAHAA seal of jurists used for Al Shaikh Najeet. Akhbaar Siraatal Mustaqeem Yaafaa, 27 Rajab, 1354 21. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators or exegetes for Shaikh Rasheed Raza. Al Jaami’atul Islamia, 9 Jamadiy thaani, 1354 22. KHATAM-ATUL-FUQAHAA used for Shaikh Abdul Haque. Tafseerul Akleel, title page 23. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN seal of researchers for Al Shaikh Muhammad Najeet. Al Islam Asr Shi’baan, 1354 24. KHATAM-AL-WALAAYAT seal of sainthood for best saint. Muqaddimah Ibne Khuldoon, p. 271 25. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN WAL MUFASSIREEN seal of narrators and commentators used for Shah Abdul Azeez. Hadiyyatul Shi’ah, p. 4 26. KHATAM-AL-MAKHLOOQAAT AL-JISMAANIYYAH seal of bodily creatures used for the human being. Tafseer Kabeer, vol. 2, p. 22, published in Egypt 27. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Shaikh Muhammad Abdullah. Al Rasaail Naadirah, p. 30 28. KHATAM-ATUL-MUHAQQIQEEN used for Allaama Sa’duddeen Taftaazaani. Shara’ Hadeethul Arba’een, p. 1 29. KHATAM-ATUL-HUFFAAZ used for Ibn Hajrul Asqalaani. Tabqaatul Madlaseen, title page 30. KHATAM-AL-MUFASSIREEN seal of commentators used for Maulvi Muhammad Qaasim. Israare Quraani, title page 31. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators used for Imam Siyotee. Hadiyyatul Shee’ah, p. 210 32. KHATAM-AL-HUKKAAM seal of rulers used for kings. Hujjatul Islam, p. 35 33. KHATAM-AL-KAAMILEEN seal of the perfect used for the Holy Prophet pbuh. Hujjatul Islam, p. 35 34. KHATAM-AL-MARAATAB seal of statuses for status of humanity. Ilmul Kitaab, p. 140 We have the “highest, not “last” status. 35. KHATAM-AL-KAMAALAAT seal of miracles for the Holy Prophet pbuh. ibid, p. 140 36. KHATAM-AL-ASFIYAA AL A’IMMAH seal of mystics of the nation for Jesus peace be on him. Baqiyyatul Mutaqaddimeen, p. 184 37. KHATAM-AL-AUSIYAA seal of advisers for Hazrat Ali Minar Al Hudaa, p. 106 38. KHATAM-AL-MU’ALLIMEEN seal of teachers/scholars used for the Holy Prophetpbuh. Alsiraatul Sawee by Allama Muhammad Sabtain Now, I am a teacher myself, and you know that I still exist, AFTER the Holy Prophet pbuh, but I am nowhere close to being able to teach as PERFECTLY as he could or did. How then could he be “last” of teacher Seal means “best” here and not “last”. 39. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN seal of narrators for Al Shaikhul Sadooq. Kitaab Man Laa Yahdarahul Faqeeh 40. KHATAM-AL-MUHADDITHEEN used for Maulvi Anwar Shah of Kashmir. Kitaab Raeesul Ahrar, p. 99 Pendapat lainnya tentang masih berlanjutnya pintu Kenabian dalam Islam dapat dilihat dari berbagai hadits dan ulama berikut ini 1. “Katakanlah bahwa beliau Rasulullah adalah Khataman Nabiyyin, tetapi janganlah mengatakan tidak akan ada nabi lagi sesudah beliau” lihat Durr Mantsur oleh Hafizh Jalal-ud-Din `Abdur Rahman Sayuthi. 2. “Katakanlah, sesungguhnya ia [Muhammad] adalah khaatamul-anbiya’, tetapi jangan sekali-kali kamu mengatakan laa nabiyya ba’dahu tidak ada Nabi sesudahnya” Durrun Mantsur, jld. V, hlm. 204; Takmilah Majmaul Bihar, 3. Rasulullah adalah yang terbaik, termulia, dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka lihat Syarh Zurqani oleh Imam Muhammad ibn `Abdul Baqi al-Zurqani, dan Syarah Mawahib al-Laduniyyah oleh Syihab-ud-Din Ahmad Qastalani. 4. Berkata Sheikh Muhyiddin Ibnu Arabi “Maksud sabda Nabi Muhammad SAW sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus dan tidak ada lagi rasul dan nabi sesudahku, ialah tidak akan ada nabi yang membawa syariat yang akan menentang syariat aku. Maka tidaklah nubuwat itu terangkat seluruhnya. Karena itu kami mengatakan sesungguhnya yang terangkat ialah nubuwat tasyri’i kenabian yang pakai syariat, maka inilah ma’na tidak ada nabi sesudah beliau”.Futuhatul Makkiyah, jilid II halaman 73. Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam kitabnya Futuuhatul Makiyyah menulis “Inilah arti dari sabda Rasulullah “Sesungguhnya risalah dan nubuwat sudah terputus, maka tidak ada Rasul dan Nabi yang datang sesudahku yang bertentangan dengan Syari’atku. Apabila ia datang, ia akan ada di bawah Syari’atku.” Futuuhatul Makiyyah, Ibnu Arabi, Darul Kutubil Arabiyyah Alkubra, Mesir, jld II, hlm. 3 Imam Muhammad Thahir Al-Gujarati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan hadits tidak ada nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan mebatalkan syariat beliau”….Takmilah Majmaul Bihar, halaman 85. 5. Mulla Ali Al-Qari berkata “Maka tidaklah hal itu bertentangan dengan ayat “khaatamannabiyin” karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi nabi yang akan membatalkan agama beliau dan nabi yang bukan dari umat beliau”….. .Maudhuat Kabir, halaman 59. 6. Nawwab Siddiq Hasan Khan menulis “Benar ada hadist yang berbunyi “la nabiyya ba’di” artinya menurut pendapat ahli ilmu pengetahuan ialah bahwa sesudahku tidak akan ada lagi nabi yang menasikhkan/ membatalkan syariatku”.. …Iqtirabussa’ ah, halaman 162. 7. Imam Sya’rani berkata”Dan sabda Nabi Muhammad SAW, tidak ada nabi dan rasul sesudahku, adalah maksudnya tidak ada lagi nabi sesudah aku yang membawa syariat”…. Al-Yawaqit wal Jawahir, jilid II halaman 42. 8. Arif Rabbani Sayyid Abdul Karim Jaelani berkata”Maka terputuslah undang-undang syariat sesudah beliau dan adalah Nabi Muhammad SAW khaatamannabiyyin” …..Al- Insanul Kamil halaman 66. 9. Sayyid Waliuyullah Muhaddist Al-Dahlawi berkata” Dan khaatamlah nabi-nabi dengan kedatangan beliau, artinya tidak akan ada lagi orang yang akan diutus Allah membawa syariat untuk manusia”…. Tafhimati Ilahiyah, halaman 53. 10. Imam Suyuti berkata “Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Isa apabila turun nanti pangkatnya sebagai Nabi akan dicabut, maka kafirlah ia sebenar-benarnya. Maka dia Isa yang dijanjikan sekalipun ia menjadi khalifah dalam umat Nabi Muhammad SAW, namun ia tetap berpangkat rasul dan nabi yang mulia sebagaimana semula”…..Hujajul Kiramah , halaman 31 dan 426. 11. Imam Abdul Wahab Asy-Syarani berkata “Dan sabda Nabi “tidak ada Nabi dan Rasul sesudah aku, adalah maksudnya tidak ada lagi Nabi sesudah aku yang membawa Syari’at.” Al-Yawaqit wal Jawahir, jld. II, hlm. 42. 12. Imam Thahir Al Gujrati berkata “Ini tidaklah bertentangan dengan Hadits tidak ada Nabi sesudahku, karena yang dimaksudkan ialah tidak akan ada lagi Nabi yang akan membatalkan Syari’at beliau.” Takmilah Majmaul Bihar, hlm. 85. 13. Imam mazhab Hanafi yang terkenal, yaitu Mulla Ali al-Qari menjelaskan “Jika Ibrahim hidup dan menjadi Nabi, demikian pula Umar menjadi Nabi, maka mereka merupakan pengikut atau ummati Rasulullah Seperti halnya Isa, Khidir, dan Ilyas alaihimus salaam. Hal itu tidak bertentangan dengan ayat Khaataman-Nabiyyiin . Sebab, ayat itu hanya berarti bahwa sekarang, sesudah Rasulullah tidak dapat lagi datang Nabi lain yang membatalkan Syari’at beliau dan bukan ummati beliau Maudhu’aat Kabiir, hlm. 69. 14. Peristiwa wafatnya Ibrahim putera Rasulullah dari Maria Qibtiyah tercatat sebagai berikut Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah wafat, beliau menyembahyangkan jenazahnya dan berkata, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” Sunan Ibnu Majah, Abu Abdillah Alqazwaini, Darul Fikr, jld. II, hlm. 484, Hadits no. 1511.Peristiwa wafatnya Ibrahim terjadi pada tahun 9 H, sedangkan ayat “khaataman-nabiyyiin” diturunkan pada tahun 5 H. Jadi, ucapan beliau mengenai Ibrahim sebagaimana ditemukan dalam Hadits itu adalah 4 tahun kemudian setelah beliau menerima ayat “khaataman-nabiyyiin.” Jika ayat “khaataman-nabiyyii n” diartikan sebagai “penutup / sesudahan / penghabisan /akhir” nabi-nabi yaitu tidak boleh ada nabi lagi apa pun juga setelah beliau maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia tidak akan pernah menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Nabi yang menerima wahyu, jadi beliaulah yang paling mengetahui arti/makna wahyu yang diterimanya. 15. Dalam Kitab Nuzulul Masih, Imam Jalaluddin Assuyuti rh Mujaddid abad IX menyatakan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa tidak ada lagi wahyu setelah nabi Muhammad saw adalah Palsu. Kini pertanyaannya adalah apakah ada Ulama Salaf yang menafsirkan kalimat “Khaataman Nabiyyin” dalam Al Qur’an dengan mengikuti kaidah tata bahasa Arab di atas? Mengingat tafsir yang dipopulerkan oleh para Ulama saat ini terhadap kalimat Khaataman Nabiyyin yang didasarkan atas klaim ijma’ seluruh Ulama adalah penutup para Nabi dalam arti tiada lagi akan ada Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Berikut adalah penafsiran dari beberapa Ulama Salaf 1. Umayyah bin Abi Salt dlm Kitab Diwan hal 24 menulis mengenai Khaataman nabiyin “Dengannya Rasulullah saw telah dicap/stempel para nabi sebelum maupun sesudahnya”. 2. Abu Ubaidah wafat 209 H ketika mengomentari Khair Al Khawatim dlm Naqa’id ibn Jarir dan Faradzaq tentang rasulullahsaw sebagai khaataman nabiyyin “Nabi saw adalah Khaatam al Anbiya, yaitu sebaik-baik para nabi”. 3. Abu Riyash Ahmad Ibrahim Al Qaisi wafat 339 H dlm mengomentari kitab Hasyimiyyat karangan Al Kumait berkata “Barang siapa mengatakan Khaatim al anbiya, maka ia adalah dengannya para nabi di cap/stempel, dan barang siapa yg mengatakan Khaatam al anbiya, maka ia adalah sebaik-baik para nabi. Dikatakan” Fulan khaatam kaumnya”, yakni ia adalah terbaik dari antara mereka”. 4. Allamah Al Zarqani menulis dlm Syarah Al Mawahib Al Laduniyah Juz III, hal 163, bahwa jika khatam dibaca dengan baris di atas ta sebagaimana tersebut dlm Al Qur’an al ahzab 40, maka artinya “sebaik-baik para nabi dlm hal kejadian dan dalam hal akhlak”. 5. Imam Mulla Ali al Qari menulis dlm kitabnya Al Maudhu’at tentang Khaatam Al Nabiyyin “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yg akan memansukhkan agama Islam dan yg bukan dari umat beliau”. 6. Syekh Abdul Qadir Al Jaelani dlm Kitab ” Al Insanul Kamil” cetakan Mesir, bab 33, hal 76 menulis “Kenabian yg mengandung sya’riat baru sudah putus. Nabi Muhammad adalah “Khaataman nabiyyin”, ialah karena beliau telah membawa syari’at yg sudah sempurna dan tiada ada seorang Nabi pun dahulunya yg membawa syariat yg begitu sempurna”. 7. Ibnu Khuldun telah menulis dalam mukadimah tarikh-nya hal 271 “Bahwa ulama-ulama Tasawuf mengartikan “Khaataman Nabiyyin” begini; yakni Nabi yg sudah mendapat kenabian yg sempurna dalam segala hal”. 8. Syekh Abdul Qadir Al Karostistani menulis ” Adanya beliau saw Khaataman nabiyyin maknanya ialah sesudah beliau tidak akan ada nabi diutus dengan membawa syariat lain”. Taqribul Muram, jld 2, hal 233. 9. Hazrat Sufi Muhyidin Ibn Arabi menulis “Nubuwat dan Risalah Tasyri’i pembawa Syariat telah tertutup, oleh karena itu sesudah Rasulullah saw tidak akan ada lagi Nabi pembawa/penyandang Syari’at….kecuali demi kasih sayang Allah untuk mereka akan diberlakukan Nubuwat umum yg tidak membawa syariat” Fushushul Hakam, hal 140-141. Lagi beliau menulis dalam Futuhat al makiyyah Juz 2 ” Berkata ia Yakni tidak ada Nabi sesudahku yg berada pada syariat yg menyalahi syariatku , Sebaliknya apabila nanti ada Nabi maka ia akan berada di bawah kekuasaan syariatku”. 10. Syekh Muhammad Thahir Gujarati menulis “Sesungguhnya yg beliau kehendaki ialah tidak ada Nabi yg mengganti syari’at beliau”. Takmilah Majma’il Bihar, hal 85. 11. Siti Aisyah bersabda “Hai, orang-orang kalian boleh mengatakan Khaatamul anbiya, tapi jangan mengatakan setelah beliau tidak ada lagi nabi”. Tafsir Darul Mantsur Imam As Suyuthi, Jld V, 12. Hz. Abdul Wahab Sya’rani Wafat 976H menulis “Ketahuilah bahwa kenabian mutlak tidak tertutup, hanya kenabian syar’i yg membawa syariat yg telah tutup”. Al Yawaqit wal Jawahir, jld 2, Dari keterangan di atas maka bisa disimpulkan bahwa penafsiran Khaataman Nabiyyin sebagai Penutup Kenabian jenis apapun bukanlah satu-satunya penafsiran. Para penafsiran Ulama Salaf di atas menerangkan bahwa 1. Khaatamun Nabiyyin adalah pangkat / derajat kenabian tertinggi tersempurna yang dikaruniai oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw. 2. Kesempurnaan ini juga terkait dengan nikmat syariat yang beliau bawa yaitu Islam. 3. Tidak ada Nabi lagi yang akan datang yang akan melampaui atau bahkan membatalkan kesempurnaan derajat dan syariat beliau Beliau saw penutup Kenabian Syar’i. 4. Tidak semua jenis kenabian tertutup, hanya kenabian yang membawa syariat yang tertutup. 5. Jika ada Nabi yang datang maka akan tunduk dalam syariat Islam dan berasal dari umatnya. Juni 16, 2008 - Posted by Hadits dan Quran Belum ada komentar. KHATAMUN-NABIYYIN Oleh KH. S. Ali Yasir “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang lelaki kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel penutup para Nabi. Dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu akan segala sesuatu” Berakhirnya Silsilah Jasmani Ayat Suci tersebut menerangkan dua hal yang saling berhubungan, yaitu telah berakhirnya silsilah Nabi Muhammad saw. secara jasmani, dan akan tetap berlangsung terus silsilah rohani beliau sepanjang masa, sebab beliau adalah Utusan Allah yang terakhir. Setiap Utusan adalah bapak rohani bagi misalnya Nabi Musa AS. adalah bapak umat Yahudi, Isa Almasih bapak umat Kristen, Siddharta Gotama bapak umat Budhis, Konghucu bapak umat Konfusianis dan Muhammad saw. adalah bapak umat Islam. Oleh karena itu isteri-isteri beliau disebut pula ibu orang-orang beriman 336 – yakni umat Islam- yang karena itu haram hukumnya dinikahi oleh umat Islam sepeninggal Nabi Suci untuk selama-lamanya 3353, sebagaimana diharamkannya seseorang mengawini ibunya sendiri 423, yakni janda bapaknya. Asbabun-nuzul ayat memperjelas makna firman Allah tersebut. Siti Khadijah memiliki seorang budak lelaki bernama Zaid. Setelah beliau dinikahi oleh Nabi Suci, Zaid dibebaskan, lalu diangkat sebagai anak angkat Nabi Suci. Zaid termasuk lima sahabat pertama. Setelah Hijrah ke Madinah, Nabi Suci mengusulkan agar Siti Zainab binti Jahsy saudara sepupu beliau dinikahkan dengan Zaid. Usul Nabi tersebut diterima, meski bertentangan dengan kehendak Zainab dan keluarganya. Ternyata pernikahan yang tak kafa’ah sederajad ini gagal. Zainab rupawan, bangsawan dan masih muda, sedang Zaid berkulit hitam, bekas budak dan jauh lebih tua. Akibatnya “fatal” bagi Zainab. Dia lebih menderita lagi karena disebut “janda, bekas istri seorang budak” suatu status yang hina di masyarakat Arab yang belum bebas dari budaya jahiliah. Cara mengangkat martabatnya tiada lain adalah Nabi Suci mengawini beliau, tetapi Nabi Suci takut akan dampak negatifnya, yakni fitnah, pelecehan dan penodaan nama baik beliau, sebab menurut tradisi jahiliyah kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung; mengawini janda anak angkat sama dengan mengawini janda anak kandung. Atas petunjuk Allah Nabi Suci menikahi Zainab 3337. Dengan demikian Siti Zainab terangkat derajatnya, karena perkawinan itu beliau menduduki tempat mulia, baik dimata Allah maupun mata manusia, yakni sebagai ibu orang beriman. Tetapi orang-orang kafir dan munafik -yang secara rohani adalah tuli, bisu dan buta 218- memaki dan menghina Nabi Suci saw. dengan tuduhan telah mengawini menantunya sendiri. Caci maki dan penghinaan yang berlangsung terus sampai sekarang ini ditangkis Ilahi dengan turunnya ayat suci 3340 di atas. Penegasan “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang-orang 1elaki kamu” berarti Zaid bukanlah anak Nabi Suci Muhammad saw. tetapi anak Haritsah. Sejak saat itu, Zaid dipanggil anak Haritsah, sesuai dengan syariat Islam yang menganjurkan agar memanggil seseorang itu dengan menyebut ayah kandungnya 335, bukan ayah angkatnya; sebab kedudukan anak angkat tidak sama dengan anak kandung 334. Silsilah Rohani Abadi Terputusnya silsilah jasmani Nabi Suci seakan-akan merupakan suatu cacat, maka orang-orang kafir mengejek beliau dengan sebutan abtar terputus, tetapi Qur’an Suci justru menyebut orang-orang kafirlah yang abtar 1083. Turunnya ayat 33 40 tersebut menjawab ejekan kaum kafir tersebut, karena menyatakan bahwa “Muhammad… … … dia itu Utusan Allah”. Seorang utusan Allah adalah bapak rohani bagi umatnya. Hubungan rohani nilainya lebih baik dan mulia daripada hubungan jasmani, maka dari itu “Nabi itu lebih dekat pada kaum mukmin daripada diri mereka sendiri” 336. Sejarah menjadi saksi tatkala ayat ini diturunkan anak-anak rohani Rasulullah saw., telah berjumlah ratusan ribu jiwa sekarang tidak kurang dari 1,3 milyar – sedang kaum kafir telah terputus dan benar-benar terputus, karena anak-anak mereka telah menjadi anak-anak rohani Nabi Suci yang prosesinya dinyatakan dalam 1101-3. Kebapakan rohani Nabi Suci tak berakhir, berlangsung terus sampai hari Kiamat, sebab beliau sdalah Khatamun-Nabiyyin artinya segel penutup para Nabi, sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Jadi silsilah jasmani beliau terputus-karena tak beranak lelaki tetapi silsilah rohani abadi dikaruniakan kepada diri beliau. Sebab beliau segel penutup para nabi. Disinilah salah satu keagungan beliau dibanding dengan para Nabi sebelumnya yang silsilah rohaninya hanya berlangsung untuk sementara waktu saja 1338-39, misalnya Nuh hidup di tengah-tengah kaumnya selama alfa sanatin illa khamsina ama seribu tahun kurang lima puluh tahun alias 950 tahun 29l4. Ini umur kenabian atau syariatnya, bukan umur pribadi orangnya. Arti Khatamun-Nabiyyin Berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. dinyatakan dengan kata “khatam” yang bisa dibaca “khatim” seperti tertulis dalam Mushaf menurut riwayat Warsy dari Nafi’al- Madani. Antara keduanya ada perbedaan. Kata khatam berarti segel atau bagian terakhir atau penutup digabung dengan kesempurnaan wahyu kenabian dan pelestarian penganugerahan nikmat Ilahi 53; maka dari itu Nabi Muhammad saw. adalah yang paling mulia diantara semua nabi. Jadi kata khatam mengandung arti ganda yakni “yang paling mulia” dan “bagian terakhir” atau “penutup”. Sedang kata khatim artinya bagian terakhir atau penutup; maka dari itu Nabi Muhammad saw. adalah penutup para Nabi, yang dipertegas oleh Nabi Suci “la nabiyya ba’di” artinya “tak ada Nabi sesudahku” Hr. Bukhari. Menurut Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Kedua arti tersebut diterima sebagai kebenaran oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, sebagaimana dinyatakan dalam tulisan-tulisan beliau antara lain sbb “Adam, diciptakan dan Rasul-rasul diutus, setelah semuanya, Nabi Muhammad saw. diciptakan yang menjadi segel penutup para Nabi dan yang paling utama dari sekalian Nabi”Haqiqatul-Wahyi, 1907, Kemuliaan Nabi Suci atas semua Nabi telah berulangkali beliau tulis dalam berbagai buku dan selebaran, juga beliau sampaikan secara lisan dalam berbagai khotbah dan perdebatan. Demikian pula tentang berakhinya kenabian pada diri Nabi Suci Muhammad saw. Pernyataan beliau antara lain sebagai berikut “Karena semua itu kenabian berakhir pada Nabi Suci saw. dan begitulah senantiasa, sesuatu yang ada awalnya pasti ada akhirnya” Al-Washiyyat, hlm. 10. Jika menjelaskan berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci saw. seringkali beliau tambahkan kalimat “sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik nabi lama ataupun Nabi baru” misalnya dalam Ayyamush-Shulh 1989 sbb “Allah hersabda Ia adalah Utusan Allah dan Khataman Nabiyyin’. Dan itu dalam Hadits Tak ada Nabi sesudahku’…….Bila Nabi lainnya datang, apakah itu Nabi baru atau lama, bagaimana mungkin Nabi Suci kita sebagai Khataman-Nabiyyin?” dari Ruhani Khaza’in jilid 14, hlm 308-309. Pada halaman berikunya beliau tulis sbb”Dengan menyatakan Tidak ada Nabi sesudahku’ Nabi Suci menutup pintu secara mutlak kepada datangnya seorang Nabi baru atau datang kembalinya seorang Nabi lama” Ibid, hlm. 400. Penegak Akidah Dari anak kalimat “Sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru” tersebut mengandung petunjuk bahwa beliau adalah penegak akidah berakhirnya kenabian secara mutlak pada diri Nabi Suci Muhammad saw. secara syar’i. Tanpa anak kalimat tersebut doktrin Islam Khatamun-Nabiyyin yang menjadi landasan kesatuan umat manusia menjadi kelabu dan mengganggu kesatuan umat manusia, termasuk antar golongan umat Islam. Mengapa? Karena umat Islam terjebak pada dua pendapat ekstrim yang saling berlawanan dalam memahami teks profetik-eskatologik yang sama, yakni tentang datangnya Nabiyullah Isa dalam Hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Nawwas bin Sam’an. Pada umumnya para ulama Islam penentang Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mahdi dan Masih Mau’ud -termasuk MUI- berpendapat bahwa, setelah Nabi Suci saw. akan datang seorang Nabi lama, yaitu Nabi Isa dari bani Israel yang dilahirkan oleh Siti Maryam sekitar dua ribu tahun yang lalu, yang sekarang mereka yakini masih hidup, di langit; kedatangan beliau untuk melaksanakan syariat Nabi Muhammad saw. Jadi kedatangannya sebagai Nabi tanpa syariat. Pendapat ini muncul karena teks “Nabiyullah Isa” mereka pahami secara hakiki, baik kata nabiyullah maupun nama Isa. Maka dari itu beliau bertanya Apakah mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya Allah SWT. telah menetapkan Nabi Muhammad saw. sebagai Khatamul-Anbiya’ tanpa perkecualian” Hamamatul-Busyra, hlm. 20. Jawaban mereka biasanya “Nabi Isa pengangkatannya sebelum Nabi Suci saw. dan kedatangannya hanyalah untuk menegakkan syariat Nabi Suci”. Mereka memelintir pokok masalah, dari masalah ada atau datangnya, seorang Nabi dialihkan kepada masalah pengangkatan kenabian. Doktrin berakhirnya kenabian menjadi kelabu, meski mereka teriak-teriak qathi’i. Teriakan mereka tidak memperjelas pokok masalah, tetapi justru menambah kelabunya pokok masalah, karena mengundang keresahan dan kekisruhan, bahkan sering melahirkan perbuatan anarkis. Selain penentang Masih Mau’ud dari sebagian pengikut beliau pun ada pula yang berpendapat bahwa beliau seorang Nabi tanpa syariat, seperti halnya pendapat para penentang beliau. Hanya bedanya, yang datang setelah Nabi Suci adalah Nabi baru, bukan Nabi lama Isa Almasih, sebab beliau telah wafat. Pendapat ini muncul sebab teks profetik-eskatologik Nabiyullah mereka pahami secara hakiki, sedang nama Isa secara majasi. Jadi Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa majasi, beliau seorang nabi hakiki tetapi tanpa syari’at. Di sinilah sumber pertentangannya, padakata Isa, jika dipahami secara hakiki menunjuk Nabi lama dan jika dipahami secara majasi menunjuk Nabi baru. Diantara dua pendapat saling berlawanan itu mengandung petunjuk bahwa salah satu benar yang lain salah atau kedua-duanya terakhir itu yang benar, yakni keduanya salah. Benarnya bagaimana? Benarnya sbb kata Nabiyyullah dipahami secara majasi demikian pula nama Isa, juga dipahami secara majasi. Mengapa harus dipahami secara majasi? Sebab teks itu suatu profetik atau nubuat. Dengan cara demikian mereka yang menolak boleh saja disebut sesat tetapi tidak sampai kafir atau murtad, sebab keduanya masih mengimani profetik -eskatologik itu dan disamping itu kalimat syahadat yang diucapkan oleh kedua golongan itu menjadikan mereka sebagai anak-anak Muhammad sang Khatamun-Nabiyyin. Inilah ajaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad yang sejati, yang dipegang teguh oleh pengikut beliau kaum Muslim Ahmadi Lahore. Belum saatnyakah umat Islam bersatu? KH. S. Ali Yasir. Beri peringkat Filed under Islamologi Tagged Studi Islam Nabi Muhammad saw. sebagai khatamun nabiyyin, arti kata khataman nabiyyin adalah? Penutup para malaikat Penutup untuk para nabi Penutup para penghulu Utusan nabi terakhir Utusan terakhir Jawaban yang benar adalah B. Penutup untuk para nabi. Dilansir dari Ensiklopedia, nabi muhammad saw. sebagai khatamun nabiyyin, arti kata khataman nabiyyin adalah Penutup untuk para nabi. Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. Penutup para malaikat adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Menurut saya jawaban B. Penutup untuk para nabi adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. Menurut saya jawaban C. Penutup para penghulu adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain. Menurut saya jawaban D. Utusan nabi terakhir adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan. Menurut saya jawaban E. Utusan terakhir adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain. Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah B. Penutup untuk para nabi. Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah. Berikut adalah penjelasan tentang Muhammad Khataman Nabiyyin Al-Qur’an Mukjizat Yang Agung Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw QS 473 [1] sebagai mukjizat yang paling besar, sebab kitab ini berisi syariat yang sempurna yang berlaku sepanjang masa QS 54 di dalamnya mengandung ajaran kebenaran kitab-kitab sebelumnya QS 984. Kitab ini juga membenarkan ajaran kebenaran kitab-kitab sebelumnya dan mengoreksi atau meluruskan ajaran yang salah dari kitab-kitab sebelumnya QS 549, dan kesucian Al-Quran ini dijaga oleh Allah QS 1510. Kitab ini mempunyai kemampuan untuk membuat orang yang sudah mati rohaninya bisa berbicara untuk tabligh dan tarbiyat tentang agama QS 1331. Contoh kongkrit dalam hal ini adalah bangsa Arab yang semula bodoh, biadab, sadis, dan saling bermusuhan, berubah menjadi bangsa yang pandai, berakhlak luhur, kasih sayang kepada sesama, bersatu dan bersaudara berkat Al-Quran. Pendek kata kitab ini memiliki kedalaman dan keluasan ilmu yang para ulama tidak akan pernah merasa kenyang.[2]Bahkan satu kata dari ayat kitab ini terkadang mempunyai makna sampai 20 segi arti. Imam As-Sayuthi rh berkata وَقَدْ جَعَلَ بَعْضُهُم ذٰلِكَ مِنْ اَنْوَاعِ مُعْجِزَاتِ الْقُرْآنِ حَيْثُ كَانَتِ الْكَلِمَةُ الْوَاحِدَةُ تَنْصَرِفُ اِلٰى عِشْرِيْنَ وَجْهًا “Dan sungguh sebagian mereka menjadikan itu semacam mukjizat bagi Al-Quran, sehingga kadang-kadang satu kata kembali kepada dua puluh segi arti.” Al-Itqaan Baca juga Beberapa hal Tentang Nabi Terakhir – Dalil Al-Qur’an dan Hadits Aneka Tafsir Khataman Nabiyyin Para ulama sangat bervariasi dalam menafsirkan kata “Khataman Nabiyyin”. Namun, semuanya menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan Nabi Muhammad saw dan syariat Islam yang telah beliau saw terima dan yang beliau contohkan dan beliau jelaskan. Diantara ulama terkemuka yang memberikan tafsir kata Khataman Nabiyyin’ tersebut ialah Allamah Az-Zarqani rh menulis bahwa kalau khaatam dibaca dengan fathah di atas huruf Ta’ ت , sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, maka artinya ialah اَحْسَنُ الْاَنْبِيَآءِ خَلْقًا وَ خُلُقً “Sebagus-bagus nabi dalam kejadian dan dalam hal akhlak.” [3]Allamah Ibnu Khaldun rh seorang ahli tasawuf menulis dalam kitabnya bahwa kata Khataman Nabiyyin diartikan dengan اَالنَّبِيُّ الَّذِيْ حَصَلَتْ لَهُ النُبُوَّةُ الْكَامِلَةُ Artinya “Nabi yang telah mendapat kenabian yang sempurna.” Muqaddimah, pasal 52Imam Mulla Ali Al-Qari rh menulis bahwa khaataman-nabiyyin’ itu adalah khaataman-nabiyyin berarti “Tidak akan datang lagi sembarang nabi yang akan memansukhkan menghapus agama Islam dan yang bukan dari umat beliau saw.” Al–Maudhuu’at, Asy-Syarif Ar-Radhi rh menulis tentang Khataman Nabiyyin وَالْمُرَادُ بِهَا اَنَّاللهَ تَعَالَى جَعَلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَفِظًا لِشَرَائِعِ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَكُتُبِهِمْ وَجَمِعًا لِمَعَالِهِمْ دِيْنِهِمْ وَايَاتِهِمْ كَالْخَاتَمِ الَّذِيْ يُطْبَعُ بِهِ الصَّحَائِفُ وَغَيْرُهَا لِيُحْفَظَ مَا فِيْهَا وَيَكُوْنَ عَلَامَةً عَلَيْهَا Maksudnya ialah bahwa Allah swt telah menjadikan Nabi Muhammad saw penjaga bagi syariat dan kitab rasul-rasul semuanya, dan penghimpun ajaran agama dan tanda-tanda mereka sekalian, seperti cap yang dengannya dicapkan di atas surat-surat dan lain-lain supaya dijaga apa yang ada di dalamnya, dan cap itu menjadi tanda bukti penjagaan itu. [4] Syaikh Bali Afendi rh menulis فَخَاتَمُ الرُّسُلِ هُوَ الَّذِيْ لاَ يُوْجَدُ بَعْدَهُ نَبِيٌّ مُشَرِّعٌ فَلاَ يَمْنَعُ وُجُوْدُ عِيْسٰى بَعْدَهُ خَتَمِيَّتَهُ لِاَنَّهُ نَبِيٌّ مُتَّبِعٌ لِمَا جَاءَ بِهِ خَاتَمُ الرُّسُلِ Khaatamur-rusul ialah yang tidak ada sesudahnya nabi yang membawa syariat. Maka adanya Isa sesudah beliau tidak menghalangi ke-khaatamanannya, karena ia Isa itu adalah nabi yang akan mengikuti ajaran yang dibawa oleh khaatamaur-rusul Muhammad saw itu. [5] Menurut kebiasaan ahli bahasa Arab, apabila kata khaatam dihubungkan dengan isim kata benda jamak, maka artinya hanya satu saja, yaitu “paling mulia”. Contohnya, antara lain ا. افْلاَطُوْنَ خَاتَمُ الْحُكَمَاءِ “Plato adalah yang paling mulia diantara orang-orang bijaksana.”[6] ب. انَا خَاتَمُ الْاَنْبِيَآءِ وَاَنْتَ يَا عَلِيُّ خَاتَمُ الْاَوْلِيَاءِ “Aku, Rasulullah saw adalah khaatam bagi nabi-nabi, dan engkau wahai Ali, khaatam bagi wali-wali.” [7] Sabda beliau saw ini bukan berarti bahwa tidak ada wali lagi sesudah Hadhrat Ali ra karena dalam tafsir itu disebutkan juga bahwa tentang ayat اَلاَ اِنَّ اَوْلِيَاءَاللهِ Hadhrat Ali ra berkata هُمْ نَحْنُ وَاَتْبَاعُنَ Artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu adalah kami dan para pengikut kami.” Hadhrat Imam Ar-Razi menulis dalam tafsirnya bahwa manusia adalah khaatamul-makhluumaat.[8] Kalimat ini tidak bisa diartikan bahwa sesudah Adam tidak ada makhluk lagi. Demikian juga dalam tafsir tersebut dan dalam halaman itu juga disebutkan bahwa akal itu adalah خَاتَمُ الْخَلْعِ الْفَائِضَةِ مِنْ حَضْرَةِ ذِيْ الْجَلاَلِ “Khaatam bagi segala nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia.” Sesudah menulis dua contoh ini beliau berkata وَالْخَاتَمُ يَجِبُ اَنْ يَكُوْنَ اَفْضَل Artinya, khaatam itu pasti afdhal yang paling mulia. Dapat ditambahkan bahwa beberapa ahli bahasa Arab menulis sebagai berikut I. Lafadz khaatam berarti مَا يُخْتَمُ بِهِ مَا يُصَدِّقُ بِهِ Artinya Barang yang dicap dengannya adalah yang dibenarkan olehnya cap; II. Lafadz khaatam juga berarti مُصَدِّقٌ Artinya Yang membenarkan. Dalam QS 3341 disebutkan وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ “…Akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan khaatam sekalian nabi.” Dan disebutkan pula dalam QS 2 102 وَلَمّا جاءَهُم رَسولٌ مِن عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِما مَعَهُم “Dan tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari Allah, yang menggenapi apa yang ada pada mereka.” Jadi kata khaatam dalam ayat QS 3341 ini, jika dihubungkan dengan QS 2102 berarti “Yang membenarkan.” III. Lafadz khaatam juga berarti اَشْرَفُ وَاَفْضَلُ Yakni arti Khataman Nabiyyin yang ketiga ialah “semulia-mulia nabi dan seutama-utama Nabi.” IV. Lafadz khaatam juga berarti زِيْنَةٌ arti khaatam adalah “keindahan atau perhiasan.” [9] Allamah Abul Baqa Al-Akbari rh menjelaskan bahwa salah satu arti khaataman-nabiyyin ialah الْمَخْتُوْمُ بِهِ النَّبِيُّوْنَ Artinya Segala nabi dicap dengannya. Lihat kitab Imlaau Maa Manna Bihir RahmanKita sama-sama mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw tidak mempunya anak laki-laki yang berumur panjang. Itulah sebabnya orang-orang kafir menamai beliau abtar yang punah, tidak mempunyai keturunan. Tatkala Allah berfirman, “Tidaklah Muhammad itu bapak dari seseorang laki-lakimu.” QS 3341, maka orang-orang kafir tentu saja merasa gembira karena firman ini membenarkan kata mereka bahwa Nabi Muhammad saw seorang punah, karena beliau tidak mempunyai keturunan laki-laki. Allah swt berfirman, “Apa gunanya keturunan? Gunanya supaya nama orang itu hidup selama keturunannya masih ada. Kalau begitu Nabi Muhammad saw bukan orang punah, karena beliau rasul dan nabi, sedangkan tiap-tiap nabi adalah bapak bagi umatnya dan umatnya itu adalah sebagai anak cucunya. Tersebut dalam Tafsir Fathul-Bayan قَالَ النَسَفِيُّ كُلُّ رَسُوْلٍ اَبُوْ اُمَّتِهِ Artinya Imam An-Nasafi berkata bahwa tiap-tiap rasul adalah bapak bagi umatnya. Nabi Muhammad saw sendiri bersabda اِنَّمَا اَنَا لَكُمْ بِمَنْزِلَةِ الْوَالِدِ Artinya “Sesungguhnya aku bagi kamu adalah menempati kedudukan sebagai bapak.” [10] Perihal nabi menjadi bapak bagi para pengikutnya adalah sama bagi semua nabi dan rasul. Maka dari itu dengan khaataman-nabiyyiin itu dinyatakan bahwa Nabi Muhammad saw bukan saja bapak bagi umat beliau, tetapi bapak pula bagi semua nabi dan rasul. Inilah arti khaataman-nabiyyin yang sudah dijelaskan oleh Maulana Muhammad Qasim Nanatowi dalam kitab Tahdzin-Naas. Allamah Abul Baqa rh menulis dalam kitab Kulliyat وَالْاَحْسَنُ اَنَّهُ مِنَ الْكَتْمِ لِاَنَّهُ سَاتِرُ الْاَنْبِيَآءِ بِنُوْرِ شَرِيْعَتِهِ كَا لشَّمْسِ تَسْتُرُ بِنُوْرِهَا الْكَوَاكِبَ كَمَا اَنَّهَا تَسْتَضِيْئُ بِهَا Kata khaatam lebih baik dipakai dengan arti khaatama, karena Nabi Muhammad saw menutup segala nabi dengan nur syariatnya, sebagaimana matahari menutup segala bintang dengan cahayanya, dan begitu juga bintang-bintang itu menerima cahaya daripadanya. Sikap Para Ahli Tafsir Para ulama Islam mengakui bahwa hanya karena perselisihan mengenai tafsir dan takwil seseorang tidak boleh dikafirkan, apalagi kalau tafsir dan takwilna itu didukung dan dibenarkan oleh Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah saw, dan ilmu bahasa Arab. Imam Al-Khatthabi rh berkata وَلَمْ يَثْبُتْ لَنَ اَنَّ الْخَطَأَ فِىْ التَّأْوِيْلِ كُفْرٌ “Kami tidak mempunyai keterangan yang sah bahwa oleh karena kesalahan tentang takwil, maka orang yang menakwilkan itu menjadi kafir.” [11] Allaamah Ibnu Daqiqil-Id rh menulis اِذَا كَانَ التَّأْوِيْلُ قَرِيْبًا مِنْ لِسَانِ الْعَرَبِ لَمْ يُنْكَرْ “Apabila takwil itu dekat kepada bahasa Arab maka ia tidak dimungkiri lagi.”[12] Allaamah Rasyid Ridha rh menulis وَالتَّفْسِيْرُ الْمُوَافِقُ لِلُغَةِ الْعَرَبِ لاَ يُسَمَّى تَأْوِيْلاً “Tafsir yang sesuai dengan bahasa Arab tidak dinamai takwil.” [13] Pendapat Yang Perlu Diuji Sebagian ulama ada yang mengartikan khaatam dengan penutup atau penghabisan. Orang Islam yang tidak mengadakan penelitian lebih jauh akan menerima kedua arti itu secara dangkal, tanpa mempertimbangkan Sembilan arti yang telah dikemukakan ulama terkenal tersebut. Sikap demikian ini tidak hanya bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah saw, pendapat para sahabat, para ulama dan bahasa Arab, tetapi juga merendahkan hak Allah swt dan martabat Rasulullah saw. Sebagai orang mukmin seharusnya mengadakan penelitian dengan seksama setiap pendapat yang dikemukakan oleh orang mukin alim lainnya, karena setiap informasi yang disampaikan oleh orang durhaka saja Allah swt menyuruh orang mukmin agar mengadakan penelitian. Apalagi jika pendapat yang dikemukakan oleh seorang mukmin yang alim, berlandaskan Al-Quran, hadits Rasulullah saw dan masuk akal. Allah swt berfirman يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنوا إِن جاءَكُم فاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنوا أَن تُصيبوا قَومًا بِجَهالَةٍ فَتُصبِحوا عَلىٰ ما فَعَلتُم نادِمينَ أَمرًا مِن عِندِنا ۚ إِنّا كُنّا مُرسِلينَ “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seorang yang durhaka dengan membawa suatu kabar, telitilah dengan seksama, supaya kamu tidak mendatangkan musibah terhadap suatu kaum tanpa pengetahuan, lalu kamu menyesal atas apa yang telah kamu kerjakan.” QS 49 7 Apabila khaatam diartikan penutup akan menimbulkan pengertian yang rancu, sebab arti ini membuat hak Allah swt dan martabat Rasulullah saw menjadi kurang jelas, jika dihadapkan dengan pertanyaan berikut ini Sanggupkah Nabi Muhammad saw menutup para nabi?Para nabi mana yang ditutup Nabi Muhammad saw? Apakah para nabi yang telah diutus sebelum beliau atau para nabi yang akan diutus setelah beliau?Siapakah yang mempunyai hak mengutus para nabi atau rasul itu? Menurut firman Allah swt, dalam Al-Quran hanya Allah swt yang berhak mengutus para Nabi atau Rasul itu, bukan orang lain. Allah swt berfirman أَمرًا مِن عِندِنا ۚ إِنّا كُنّا مُرسِلينَ “Perintah dari Kami, sesungguhnya Kami Allah lah yang senantiasa mengutus para Nabi atau Rasul.” QS 44 6 Jadi , yang mengutus nabi dan rasul itu hanya Allah swt saja, maka jelaskah bagi kita bahwa oleh karena Allah swt saja yang mengutus para Nabi, maka Dia jugalah yang bisa menutup kedatangan mereka. Mustahil Allah swt yang mengutus para Nabi, tetapi orang lain bisa menutup mereka. Seandainya arti khaataman-nabiyyin itu yang menutup para nabi, maka Allah-lah yang seharusnya bersifat khaataman-nabiyyin, bukan orang lain. Sektab PB JAI, Cet. 1. 2017 [1] Penulisan nomor ayat Al-Quran dalam brosur ini berdasarkan Hadits Nabi Besar Muhammadsaw. riwayat sahabat, Ibnu Abbasra yang menunjukkan bahwa setiap Basmalah pada tiap awal surah adalah ayat pertama dari surah itu. كَنَا لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتّٰى يَنْزِلَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ “Nabi Muhammadsaw. tidak mengetahui pemisahan antara surah itu sehingga bismillaahirrahmaanirrahiim turun kepada beliausaw..” [HR. Abu Daud, “Kitab Shalat” dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” [2] HR Ibnu Syaibah dan At-Tirmidzi; dan Kanzul Ummal, Juz I/997 [3] Syarah Al-Mawahibul Ladunniyah, Juz III, hal. 163 [4] Talkisul-bayan fi Majazatil-Quran, hal. 192-191 [5] Syarah Fushulul Hikam, hal. 56 [6] Miratusy-Syuruh, hal. 38 [7] Tafsir Ash-Shafi [8] Tafsir Kabir, Juz VI, hal. 22 [9] Gharibul-Quran fi Lughatil-Furqan [10] Al-Jamiush-Shaghir, Pasal alif, hal. 103 [11] Syawahidul-Haqq, Hal. 125 [12] Tafsir Ruhul-Ma’ani, Juz III, hal. 78 [13] Tafsir Quranil-Hakim, Juz I, hal. 353 Umat Islam, tanpa kecuali, beriman dan berkeyakinan tanpa ragu-ragu, bahwa Nabi Suci Muhammad adalah khâtamun Nabiyyîn. Akan tetapi arti dan tafsirnya berbeda pendapat. Frase khâtamun-nabiyyîn termaktub dalam Quran Suci 3340. Frase ini terdiri dari dua kata, yaitu khâtam dan an-nabiyyin artinya nabi-nabi. Kata khâtam berasal dari akar kata khatama, yakhtumu, khatman makna aslinya mencap, memeterai, menyegel, menyudahi, mensahkan atau mencetakkan pada suatu barang artinya cincin meterai atau cincin stempel, segel atau bagian terakhir dari sutau barang, seperti dalam ungkapan khâtamul-qaum selalu berarti kaum yang terakhir-âkhiruhum Lane & Tajud’Arus; kata dalam ayat tersebut dapat dibaca khâtam atau khâtim artinya segel atau bagian terakhir. Jadi kata khâtaman-nabiyyîn artinya 1 penutup nabi-nabi; 2 meterai sekalian nabi, dan 3 segel penutup para nabi. Penutup nabi-nabi. Arti pertama ini antara lain digunakan oleh Al-Quran dan Tafsirnya Departemen Agama RI dan para mufassir umumnya maksudnya, sesudah Nabi Suci Muhammad saw “Tak ada Nabi lagi setelah beliau” yang diangkat oleh Allah, karena pada halaman lain diterangkan akan datangnya para nabi terdahulu, yakni nabi-nabi yang pengangkatannya sebelum Nabi Suci Muhammad saw diutus 570-632 M, seperti Nabiyullah Isa ibn Maryam dari bangsa Israel. Banyak para ulama yang meyakini Nabi Isa as akan datang atau turun ke dunia pada zaman akhir nanti sebagai tanda akan terjadinya Kiamat; beliau sekarang menurut Majelis Ulama Indonesia MUI dalam Penjelasan Fatwa MUI 2005 masih hidup di langit seperti yang diyakini oleh umat Kristen. Keyakinan ini dijustifikasi dengan ayat-ayat Quran Suci, antara lain ayat 4158 yang tafsirnya sebagai berikut “Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Nabi Isa as itu diangkat atas perintah Allah oleh keempat malaikat ke langit ketiga dengan badan dan rohnya dan akan diturunkan kembali diakhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad saw pada saat umat Islam berada dalam keadaan kelemahan setelah datangnya Dajjal. Dan kejadian ini menunjukkan atas kekuasaan Allah untuk menyelamatkan Nabi-Nya, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang tercantum dalam firman Allah “Ingatlah ketika Allah berfirman “Hai Isa sesungguhnya Aku akan menyampaikan kepada kamu kepada akhir ajalmu, dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir…355” Al-Quran dan Tafsirnya, Jilid II, hlm 347. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa menurut jumhur ulama setelah Nabi Suci Muhammad saw akan datang seorang nabi lama dari bangsa Israel yang kedatangannya tanpa syariat, sebab beliau “diturunkan kembali di akhir zaman sebagai pembela umat Islam dan penerus syariat Nabi Muhammad saw”. Kerancuan ini terjadi karena berpegang kepada arti harfiah kata rafa’a dan nazala Isa ibn Maryam dalam Quran Suci dan Hadits Nabi tentang profetik-eskatologk. Israeliat dan Nashrasiat juga mempengaruhi mereka. Menurut dogma Kristen Yesus Kristus terangkat ke Sorga, duduk disebelah kanan Allah dan akan turun ke dunia untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati Pengakuan Iman Rasuli ke 6 dan 7. Meterai sekalian nabi. Arti kedua ini menurut Ahmadiyah Qadiani, sebagaimana tertulis dalam Alquran dengan Terjemah dan Tafsir Singkat. Dijelaskan, bahwa “ungkapan Khataman-Nabiyyin dapat mempunyai kemungkinan empat macam arti 1 Rasulullah saw adalah meterai para nabi, yakni, tiada nabi dapat dianggap benar, kalau semua nabi yang sudah lampau harus dikuatkan dan disahkan oleh Rasulullah saw dan juga tiada seorangpun yang dapat mencapai tingkat kenabian sesudah beliau, kecuali dengan menjadi pengikut beliau. 2 Rasulullah saw adalah yang terbaik, termulia dan paling sempurna dari antara semua nabi dan juga beliau adalah sumber hiasan bagi mereka Zurqoni, Syarah Mawahib al-Laduniyah. 3 Rasulullah saw adalah yang terakhir diantara para nabi pembawa syariat. Penafsiran ini telah diterima oleh para ulama terkemuka, orang-orang suci dan waliyullah seperti Ibn Arabi, Syah waliyullah, Imam Ali Qari’, Mujaddid Alfi Tsani, dan lain-lain… 4 Rasululah saw adalah nabi yang terakahir Âkhirul-Anbiyâ’ hanya dalam arti kata, bahwa semua nilai dan sifat kenabian terjelma dengan sesempurna-sempurnanya dan selengkap-lengkapnya dalam diri beliau; khâtam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan dan kesempurnaan, adalah lazim dipakai” Tafsir no. 2359. Dari uraian tersebut terang sekali, bahwa Nabi Suci Muhammad saw bukanlah penutup nabi-nabi, karena Nabi Suci hanyalah “yang terakhir diantara para Nabi pembawa syariat” dan “khatam dalam arti sebutan terakhir untuk menggambarkan kebagusan kesempurnaan adalah lazim dipakai”, contohnya dikemukakan pada buku-buku yang lain; dijelaskan bahwa ungkapan Khâtamun-Nabiyyîn adalah “Murakkab Idhafi“, karena kata khâtam adalah mudhâf dan an-nabiyyîn adalah mudhafilaih bentuk jamak, seperti syu’arâ, auliya’, muhâjirîn, dan lain-lain; kata khâtam artinya kelebihan, keagungan dan kesempurnaan, seperti Abu Tamam, seorang penyair dikatakan khâtamusy-syu’arâ’, Sayidina Ali dan Ibnu Arabi dikatakan khâtamul-auliyâ’, Ibn Abbas disebut khâtamul-muhâjirîn, dan lain-lain. Di samping itu masih ditopang dengan alasan-alasan linguistik yang digunakan terlalu ketat terhadap Quran Suci dan Hadits Nabi yang ujung-ujungnya untuk dalil menabikan seseorang dan juga melahirkan pendapat bahwa pangkat dan jabatan kenabian dapat diminta dan diusahakan oleh manusia. Khâtamun-Nabiyyîn dalam “penutup nabi-nabi” mereka tolak. Dengan demikian setelah Nabi Suci Muhammad saw pintu kenabian tetap terbuka tidak tertutup, tetapi yang akan datang adalah nabi tanpa syarait, seperti yang dikemukakan oleh Muhyiddin ibnu Arabi atau seperti yang dipahami oleh para ahli sufi. Di sini juga terjadi kerancuan seperti pendapat pertama. Hanya bedanya, pendapat pertama tak mengenal istilah sufi, segala sesuatunya hanya didasarkan atas istilah sufi; sedang penadpat yang kedua tak membedakan antara istilah sufi dengan istilah syar’i. Memang pada zaman Nabi Suci antara keduanya belum dibedakan. Pembedaan terjadi dikemudian hari pasca Nabi Suci sebagai manifestasi penjagaan keaslian Quran Suci 159 secara maknawi atau rohani. Oleh karena itu kedua pendapat tersebut selalu bertentangan, tak dapat dipertemukan. Hal ini membuktikan bahwa keduanya salah. Kesalahpahaman karena sama-sama meyakini akan datangnya seorang Nabi tanpa syariat setelah Nabi Suci Muhammad saw. Hanya bedanya, menurut pendapat pertama yang akan datang adalah seorang Nabi lama, yaitu Nabiyullah Isa ibnu Maryam dari Bani Israel yang sampai sekarang belum datang masih hidup di langit; sedang menurut pendapat keduanya, yang datang adalah nabi baru—bukan nabi lama, karena mereka telah wafat, termasuk Nabiyulah Isa ibn Maryam yang kini telah datang, yaitu Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Alqadiyani 1835-1908. Menurut mereka, beliau adalah seorang Nabi tanpa syariat seperti halnya Yahya, Zakaria, Isa Almasih, dan sebagainya. Jadi menurut pendapat pertama Khatamun-Nabiyyîn itu dalam arti penutup nabi-nabi hanya dalam arti pengangkatan saja, bukan kedatangannya. Maka dari itu selian Nabi Isa ada Nabi-nabi lain yang sekarang dianggap masih hidup, yaitu Nabi Idris, Nabi Khidhir dan Nabi Ilyas. Segel penutup para nabi. Arti ketiga ini dikemukakan oleh Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya The Holy Qur’an sebagai penerus Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Beliau terangkan, “Kata khâtam berarti segel atau bagian terakhir dari suatu barang; yang tersebut belakangan adalah makna asli dari kata khâtim“. Lebih lanjut beliau jelaskan “Walaupun umum mengakui bahwa Nabi Suci adalah kesudahan para Nabi, bahkan sejarahpun menerangkan bahwa setelah beliau tak ada Nabi lagi yang muncul, namun Quran menggunakan kata khâtam, bukan khatim, karena kata segel para Nabi mengandung arti yang lebih dalam daripada kata penutup para Nabi. Sebenarnya kata khatam mengandung arti penutup yang digabung dengan kesempurnaan wahyu kenabian, bersamaan pula dengan kelestarian penganugerahan sesuatu wahyu kenabian di kalangan para pengikut Nabi Suci”. Menurut beliau “Tugas para Nabi hanyalah memimpin manusia, baik dengan memberi hukum syariat maupun membersihkan hukum syariat yang sudah ada dari segala macam ketidaksempurnaan atau dengan memberi petunjuk baru yang memenuhi kebutuhan zaman, karena keadaan masyarakat pada zaman dahulu tak memerlukan diturunkannya wahyu tentang undang-undang yang sempurna selaras dengan keperluan berbagai macam generasi dan berbagai tempat. Oleh sebab itu, Nabi-nabi senantiasa dibangkitkan. Tetapi dengan datangnya Nabi Suci, diturunkanlah undang-undang yang sempurna, yang cocok dengan keperluan segala zaman dan daerah, dan undang-undang ini dijamin keselamatannya dari segala macam kerusakan, dan oleh karena itu tak diperlukan lagi jabatan kenabian”. Masih beliau lengkapi “Tetapi ini tidaklah berarti, bahwa nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada hambaNya yang terpilih, tak dianugerahkan kepada orang yang terpilih diantara kaum Muslimin. Orang tak memerlukan lagi syariat baru, karena mereka telah mempunyai syariat yang sempurna, tetapi mereka masih tetap memerlukan turunnya nikmat Tuhan. Nikmat Tuhan yang paling tinggi ialah Wahyu; dan Islam mengakui bahwa sekarangpun Tuhan bersabda kepada hamba-Nya yang terpilih, sebagaimana Allah dahulu bersabda, tetapi orang yang diberi sabda itu bukan Nabi dalam arti kata yang sesungguhnya”. Tafsir no. 1994. Dari uraian tersebut teranglah, bahwa Nabi Suci sebagai Khâtamun-Nabiyyîn dalam arti segel penutup para nabi, arti ini mengandung dua aspek, yaitu kesempurnaan bergabung dengan akhir kenabian. Kesempurnaannya, karena karya yang dilaksanakan oleh para Nabi terdahulu sesudah beliau dilestarikan oleh umat Islam untuk selamanya dengan keberkatan beliau mereka dapat mencapai pangkat atau maqam seperti para Nabi terdahulu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Suci “ulama-ulama umatku seperti para nabi Israel”. Sedang berakhirnya kenabian pada diri Nabi Suci, karena sesudah beliau tidak akan datang Nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Suci “Tak ada Nabi sesudahku”. Jadi yang telah diakhiri atau ditutup, tak dibuka lagi adalah jabatan kenabian, bukan pangkat atau maqam kenabian yang secara sufiyah disebut nabi tanpa syariat, nabi buruzi, nabi zhilli, nabi ummati, nabi majasi, nabi juz’i dan nabi ghairu mustaqil yang secara syar’i bukan nabi; istilah nabi secara syar’i dalam istilah sufi oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad disebut nabi tasyri’, nabi hakiki, nabi mustaqil, dan nabi tammah. Oleh karena hanya pangkat atau maqam yang dapat dicapai oleh orang-orang tertentu, maka selain data diupayakan juga boleh dimohon, bahkan dianjurkan agar umat Islam memohonnya 406 yang isi permohonannya diterangkan dalam tiga ayat terakhir Surat Alfatihah. Nabi Suci bersabda “Tak ada lagi wahyu kenabian kecuali mubasysyarât kabar baik“. Dan tatkala beliau ditanya “Apakah mubasysyarat itu?” Beliau menjawab “Impian yang baik” Bukhari. Hadits lain meriwayatkan “Impian serang mukmin adalah seperempat puluh enam bagian dari wahyu kenabian” Bukhari. Jadi wahyu kenabian tiada lagi, tetapi sebagian dari wahyu kenabian tetap ada, dan akan tetap dikaruniakan selama-lamanya dikalangan pengikut Nabi Suci sebagaimana dinyatakan dalam Quran Suci 469-70. Arti signifikan Khâtamun-Nabiyyîn. Ayat Khâtamun-Nabiyyîn selengkapnya sebagai berikut “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang laki-laki kamu, melainkan dia itu Utusan Allah dan segel penutup nabi-nabi. Dan Allah senantiasa Yang Maha-tahu akan segala sesuatu” 3340. Ada tiga hal yang disebutkan dalam ayat ini 1 Muhammad saw bukanlah ayah seorang lelaki diantara umat Islam, 2 beliau seorang Utusan Allah, dan 3 beliau adalah segel penutup nabi-nabi. Hubungan antara ketiganya sebagai berikut Karena silsilah berlanjut dari laki-laki, bukan dari keturunan perempuan, maka Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari laki-laki kamu, berarti keturunan secara jasmani Muhammad saw telah terputus, tetapi secara rohani beliau adalah bapak segenap umat Islam, sebab beliau adalah Utusan Allah—para Nabi Utusan Allah adalah bapak rohani umatnya—dan kebapakan beliau berlangsung terus, tak berkesudahan, sebab beliau adalah segel penutup nabi-nabi. Di sinilah arti signifikannya Khâtamun-Nabiyyîn dalam arti akhir para nabi, sesudah beliau tak akan datang nabi lagi, baik nabi lama ataupun nabi baru. Jika datang nabi baru garis keturunan spiritual dari nabi sebelumnya terutus, beralih kepada nabi baru. Jika secara lahiriah seorang anak mempunyai kemiripan wajah, penampilan, bakat, karakter, dan sifat-sifat bapaknya, demikian pula secara rohani seseorang yang taat dan patuh mengikuti seseorang Utusan Allah ia dapat menjadi mirip seperti beliau yang menjadi bapak rohaninya, misalnya kemiripan kaum Yahudi dengan Musa, kemiripan kaum Kristiani dengan Isa Almasih Yesus Kristus, kemiripan kaum Budhis dengan Siddharta Gotama, kemiripan kaum Hindu dengan Sri Krisna, dan sebagainya yang semua itu sekarang berlangsng terus dan data dicapai oleh anak-anak rohani Muhammad saw berkat ketaatan yang sempurna terhadap diri beliau sebagai Khâtamun-Nabiyyîn. Ingat, mereka hanyalah sebagai bayangan zhill dan penampakan buruzi beliau saja, bukan Nabi, sebab “nabi-nabi itu bersaudara, ibu mereka berbeda tetapi agamanya satu” Misykat. Para Nabi itu yang pertama dalam Adam dan yang terakhir adalah Muhammad saw, semuanya bapak rohani umatnya masing-masing. Demikianlah arti signifikan ayat Khâtamun-Nabiyîn yang diturunkan setelah Ibrahim putra Nabi Suci wafat dan setelah beliau menikahi Siti Zainab di bawah wahyu Ilahi 3337-38, maksud ayat suci itu bukan hanya sekedar menjelaskan kedudukan anak angkat secara hukum tidak sama dengan anak kandung, dan bukan pula hanya sekedar membantah tuduhan kaum kafir, bahwa beliau abtar, terputus silsilahnya karena tak punya anak laki-laki saja, melainkan Dia telah menjadikan beliau sebagai Utusan Allah atau bapak rohani segenap umat Islam dan kebapakan beliau tak akan pernah terputus, sebab beliau Nabi terakhir. Jadi ayat ini memberi tahu dunia, bahwa keturunan lahiriah dan hubungan kekerabatan jasmaniah itu tiada nilanya dihadapan Tuhan, maka ditegaskan “Muhammad bukanlah ayah salah seorang dari orang laki-laki kamu”. Dengan demikian akidah tentang Imamah atau Imarah syaratnya Quraisyiyah atau Ahlul-Bait baca Alawiyah bertentangan dengan asas Quran yang telah menetapkan Nabi Suci sebagai Nabi terakhir, sehingga silsilah rohaniah yang nilainya jauh lebih tinggi daripada silsilah jasmaniah, tak akan terputus di dunia. Di samping itu juga merupakan kabar baik bagi dunia, bahwa kenikmatan yang dinugerahkan kepada para Nabi terdahulu akan terus lestari dianugerahkan kepada siapapun, asal menjadi pengikut beliau dengan tulus yang sejatinya ia tak meninggalkan Nabi terdahulu yang menjadi ikutannya, sebab kedatangan para Nabi itu hanyalah mempersiapkan umatnya masing-masing agar menerima beliau 391. Misalnya umat Kristen untuk menjadi “anak Allah” seperti Yesus Yoh 1033-36 jalannya bukanlah mengikuti ajaran dan keteladanan Yesus dalam Injil, sebab Injil yang ada sekarang dalam Perjanjian Baru bukanlah “Injil Yesus” atau “Injil dari Yesus” akan tetapi hanya “Injil tentang Yesus Kristus”Mrk 11. Oleh karena itu siapapun dapat menulisnya, bukan monopoli Matius, Markus, Lukas, Yohanes dan Paulus saja, tetapi juga siapapun yang mau demi ekspresi imannya. Jalan untuk menjadi “anak-anak Allah” Mat 59 melalui “Injil tentang Yesus” terhalang, akan tetapi terbuka lebar melalui Quran Suci yang keasliannya terjaga 159 dengan jalan mengikuti ajaran dan teladan Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khâtamun-Nabiyyîn dalam diri beliau terkumpul semua sifat nabi-nabi terdahulu, seperti keperwiraan Musa, kebijakan Yoshua, keberanian Daud, kemegahan Sulaiman, kesabaran Ayub, kesederhanaan Yahya, keugaharian Isa Almasih, kezuhudan Siddharta Gotama, dan sebagainya sebagaimana dalam Quran Suci terdapat Kitab-kitab Suci terdahulu yang benar 982-3. Penggunaan kata khâtam. Kata khatam memiliki bermacam-macam arti yang inti pengertiannya berkaitan erat dengan keabsahan surat-surat. Penggunaannya sejak masa Nabi Suci, bahkan sejak sebelum beliau, karena khâtam dalam arti cincin stempel merupakan salah satu atribut raja sebagai tanda kebesaran dan kemegahan. Raja dapat membubuhkan khâtam pada bagian akhir surat dengan tinta. Diceritakan bahwa ketika Nabi Suci hendak mengirim surat dakwah kepada para penguasa disekitar Jazirah Arab. Kepada Nabi Suci diinformasikan, bahwa raja-raja non Arab ajam hanya mau menerima surat-surat yang diberi khâtam. Maka Nabi Suci membuat khâtam cincin stempel dari bahan perak berukirkan “Muhammad Rasulullah”. Penggunaan khâtam itu diteruskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan juga para khalifah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Setiap orang yang memangku jabatan khalifah memiliki khâtam. Didalamnya tak diukirkan nama khalifah, tetapi diukirkan kata-kata hikmah atau slogan, misalnya khâtam Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali masing-masing diukirkan kata-kata Ni’matul-Qâdirillâh yang Maha-kuasa Yang paling baik adalah Allah, Kafâbil-manti Wa’izham Yâ Umar Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu, Latashbiranna an latan damanna Engkau bersabar atau menyesal dan Al-Mulku lillâh Kekuasaan hanya bagi Allah. Khatam juga berarti akhir. Maksudnya, tulisan yang telah diberi khatam itu benar dan sah atau penulisan surat sudah selesai dan lengkap dengan diberinya khâtam. Dengan demikian frase khâtamun-nabiyîn artinya “segel penutup para nabi” dan arti ini yang lebih mendekati kebenaran dibanding arti-arti lainnya, karena mengandung dua aspek yaitu kesempurnaan bergabung dengan akhir kenabian. Jadi Nabi Suci Muhammad saw adalah Nabi yang sempurna atau yang terbesar dan terakhir kedatangannya, sebab sesudah beliau tak akan datang Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru.[] This entry was posted on 16/10/2017, 513 am and is filed under ENSIKLOPEDI. You can follow any responses to this entry through RSS You can leave a response, or trackback from your own site.

arti dari khataman nabiyyin adalah